Jumat, 19 November 2010

tugas perilaku konsumen 3

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PASAR TENAGA KERJA
DAN IMPLIKASI KEBIJAKANNYA TERHADAP SEKTOR PERTANIAN DI
KABUPATEN BOGOR

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Perumusan Masalah
Secara makro, krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia membawa dampak luas
terhadap Kabupaten Bogor, terutama pada permintaan dan penawaran agregat. Dampak pada
penawaran agregat dapat dilihat pada pasar tenagakerja. Pada pasar tenagakerja, dampak
tersebut antara lain: (a) jumlah dan persentase tenaga kerja di sektor industri dan jasa yang
menurun, (b) tingkat pengangguran penuh dan setengah pengangguran yang meningkat, dan
(c) tingkat ketergantungan pada sektor informal yang semakin besar. Keseluruhan dampak ini
mencerminkan kelesuan pasar tenagakerja di Kabupaten Bogor, yang pada gilirannya
menyebabkan cenderung menurunnya pendapatan para pekerja.
Tidak lama setelah berlangsungnya krisis ekonomi (1997/1998), Pemerintah menerapkan
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (2001). Kebijakan ini secara signifikan
meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah daerah (Riyanto dan Siregar, 2005). Secara
teoretis, peningkatan kapasitas fiskal daerah memungkinkan Pemerintah Daerah (Pemda)
untuk mengatasi kelesuan pasar tenagakerja, misalnya melalui proyek-proyek yang bersifat
padat karya dan aktivitas-aktivitas yang mendorong pengembangan usaha mikro dan kecil
termasuk usahatani. Namun secara aktual, apakah kebijakan otonomi daerah di Kabupaten
Bogor telah dapat mengatasi kelesuan pasar tenagakerja tersebut?
Untuk mengulas pasar tenagakerja, perlu dikaji berbagai variabel yang berkenaan dengan
pasar tenagakerja. Di antara variabel tersebut ialah angkatankerja, penyerapan tenagakerja,
pengangguran, produktivitas dan upah. Faktor-faktor apakah yang secara signifikan
mempengaruhi variabel-variabel ketenagakerjaan di Kabupaten Bogor? Adakah perbedaan
yang signifikan pada keragaan variabel-variabel ketenagakerjaan tersebut sebelum dan setelah
diterapkannya kebijakan otonomi daerah?

1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup Makalah
Penelitian ini secara umum bertujuan mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
riset di atas. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pasar tenagakerja di Kabupaten
Bogor, yang antara lain meliputi angkatankerja, penyerapan tenagakerja, pengangguran,
produktivitas tenagakerja dan upah.
2. Mengkaji keterkaitan antar variabel-variabel ketenagakerjaan tersebut pada butir 1 dan
antar variabel-variabel tersebut dengan produk domestik regional bruto (PDRB).
3. Merumuskan implikasi kebijakan dari hasil analisis, terutama terhadap sektor pertanian.
Ruang lingkup penelitian adalah dalam skala Kabupaten Bogor. Angkatan kerja dan
pengangguran didisagregasi menurut tingkat pendidikan (terdidik dan tidak terdidik). Upah,
produktivitas tenagakerja, dan PDRB didisagregasi menurut sektor perekonomian (pertanian,
industri, dan jasa). Kesempatan atau penyerapan tenagakerja didisagregasi menurut tingkat
pendidikan dan sektor perekonomian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder, yang disajikan pada Bagian 2.3.

II. METODOLOGI
2.1. Tinjauan Pustaka
Pasar tenagakerja dapat digolongkan menjadi pasar tenagakerja terdidik dan pasar
tenagakerja tidak terdidik. Menurut Simanjuntak (1998), kedua bentuk pasar tenagakerja
tersebut berbeda dalam beberapa hal. Pertama, tenaga terdidik pada umumnya mempunyai
produktivitas kerja lebih tinggi daripada yang tidak terdidik. Produktivitas pekerja pada
dasarnya tercermin dalam tingkat upah dan penghasilan pekerja, yaitu berbanding lurus
dengan tingkat pendidikannya. Kedua, dari segi waktu, supply tenagakerja terdidik haruslah
3
melalui proses pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu, elastisitas supply tenagakerja
terdidik biasanya lebih kecil daripada elastisitas supply tenagakerja tidak terdidik. Ketiga,
dalam proses pengisian lowongan, pengusaha memerlukan lebih banyak waktu untuk
menyeleksi tenagakerja terdidik daripada tenagakerja tidak terdidik.
Supply atau penawaran tenagakerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan
jumlah tenagakerja. Seperti halnya penawaran, demand atau permintaan tenagakerja juga
merupakan suatu hubungan antara upah dan jumlah tenagakerja. Motif perusahaan
mempekerjakan seseorang adalah untuk membantu memproduksi barang atau jasa yang akan
dijual kepada konsumennya. Besaran permintaan perusahaan terhadap tenagakerja tergantung
pada besaran permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksi perusahaan itu. Oleh
karenanya, permintaan terhadap tenagakerja merupakan permintaan turunan (derived
demand).
Penentuan permintaan tenagakerja dapat diturunkan dari fungsi produksi yang merupakan
fungsi dari tenagakerja (L) dan modal (K), sebagai berikut:
TP = f(L, K)
dimana: TP = Produksi total (output)
L = Tenaga kerja
K = Modal
Keseimbangan pasar tenagakerja merupakan suatu posisi tertentu yang terbentuk oleh
adanya interaksi permintaan dan penawaran tenagakerja. Todaro (2000) menyatakan bahwa
dalam pasar persaingan sempurna (perfect competition), di mana tidak ada satupun produsen
dan konsumen yang mempunyai pengaruh atau kekuatan yang cukup besar untuk mendikte
harga-harga input maupun output, tingkat penyerapan tenagakerja (level of employment) dan
harganya (tingkat upah) ditentukan secara bersamaan oleh segenap harga-harga output dan
faktor-faktor produksi selain tenaga kerja.




Gambar 1. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja
Sumber : Nicholson (1998).
Gambar 1 memperlihatkan keseimbangan di pasar tenagakerja tercapai pada saat jumlah
tenagakerja yang ditawarkan oleh individu (di pasar tenagakerja, SL) sama besarnya dengan
yang diminta (DL) oleh perusahaan, yaitu pada tingkat upah ekuilibrium (W0). Pada tingkat
upah yang lebih tinggi (W2) penawaran tenagakerja melebihi permintaan tenaga kerja,
sehingga persaingan di antara individu dalam rangka memperebutkan pekerjaan akan
mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau tepat ke titik ekuilibrium (W0). Sebaliknya,
pada tingkat upah yang lebih rendah (W1) jumlah total tenagakerja yang diminta oleh para
produsen melebihi kuantitas penawaran yang ada, sehingga terjadi persaingan di antara para
perusahaan atau produsen dalam memperebutkan tenagakerja. Hal ini akan mendorong
kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat ke titik ekuilibrium.
Pada titik W0 jumlah kesempatan kerja yang diukur pada sumbu horisontal adalah sebesar
L0. Secara definitif, pada titik L0 inilah tercipta kesempatan kerja atau penyerapan tenaga
kerja secara penuh (full employment). Artinya pada tingkat upah ekuilibrium tersebut semua
orang yang menginginkan pekerjaan akan memperoleh pekerjaan, atau dengan kata lain sama
sekali tidak akan terdapat pengangguran, kecuali pengangguran secara sukarela.
Seiring dengan berkembangnya program pemerintah Wajib Belajar 9 Tahun, maka
anak-anak sampai dengan umur 14 tahun pada umumnya akan berada di sekolah. Dengan
kata lain, jumlah penduduk yang bekerja dalam batas umur tersebut akan menjadi sangat
kecil, sehingga batas umur minimum pekerja adalah 15 tahun. Atas pertimbangan tersebut,
Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan telah menetapkan batas usia
kerja minimum 15 tahun. Dengan mulai diberlakukannya Undang-undang ini, yaitu mulai
tanggal 1 Oktober 1998, angkatankerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15 tahun
atau lebih.
Berikut ini dipaparkan beberapa studi terdahulu mengenai ketenagakerjaan.
Sulistyaningsih (1997) melakukan analisis dengan melihat keterkaitan antara struktur
ketenagakerjaan dan kinerja perekonomian di Indonesia. Hasil analisisnya menunjukkan
bahwa struktur ekonomi Indonesia telah berubah dari perekonomian yang bertumpu pada
sektor pertanian menjadi perekonomian yang bertumpu pada sektor manufaktur dan jasa.
Perubahan struktur ekonomi tersebut selanjutnya mempengaruhi struktur penyerapan
tenagakerja.
Federman and Levine (2005) mengkaji dampak perbedaan tingkat pendidikan
tenagakerja manufaktur dengan penghasilannya pada periode 1985-1995 dengan pendekatan
cross-national studies. Secara keseluruhan, penyerapan tenagakerja terdidik di sektor
manufaktur meningkat dan partisipasi tenagakerja tidak terdidik menurun. Terdapat korelasi
positif antara tingkat pendidikan dan penghasilannya.
Botero et al. (2003) mengkaji dampak regulasi tenagakerja pada pendapatan tenagakerja,
menggunakan data panel cross-section 121 negara untuk periode 1970–2000. Peneliti ini
menyimpulkan bahwa, secara umum, regulasi tenagakerja kurang mampu memperbaiki
distribusi pendapatan bagi pekerja.
Prima (1992) melakukan penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap tingkat
partisipasi kerja di Indonesia. Hasil studinya menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh
positif terhadap tingkat penyerapan angkatankerja (TPAK), artinya kenaikan tingkat
pendidikan akan meningkatkan TPAK.

2.2. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
Berdasarkan teori, studi literatur, dan kerangka logika yang dapat digunakan, sebenarnya
banyak variabel yang dapat mempengaruhi pasar tenagakerja. Namun beberapa di antaranya
ialah kebijakan (yang menyangkut pengupahan berwujud upah minimum regional, sedangkan
lainnya ialah otonomi daerah), dayatarik investasi, tingkat pengangguran yang variatif, dan
produktifitas. Secara grafis, kerangka pikir analisis pasarkerja di Kabupaten Bogor disajika.
Pengejawantahan hubungan antar variabel tersebut dalam bentuk model ekonometrika
secara grafis disajikan pada Gambar 3.3 Pada gambar ini secara spesifik ditunjukkan mana
variabel yang bersifat endogenus dan mana yang eksogenus. Demikian pula dengan arah
pengaruhnya.4
Hipotesis-hipotesis yang dapat disusun adalah sebagai berikut.
1. Kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Bogor mendorong pertumbuhan ekonomi
(peningkatan PDRB), dan pada gilirannya meningkatkan keragaan pasar tenagakerja.
Berikut ini adalah keragaan beberapa variabel ketenagakerjaan dimaksud: pengangguran
menjadi lebih rendah, angkatankerja dan tenagakerja (kesempatan kerja) menjadi lebih
banyak, serta produktivitas tenagakerja meningkat.
2. Kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Bogor mendorong lebih berkembangnya
produktivitas tenagakerja sektor industri dan jasa dibandingkan produktivitas tenagakerja
pertanian.
3. Relatif rendahnya produktivitas tenagakerja sektor pertanian dibandingkan dengan sektor
lainnya terwujud dalam bentuk relatif banyaknya jumlah tenagakerja maupun angkatan
kerja yang berada di sektor pertanian. Kondisi ini pada gilirannya menyebabkan
rendahnya keinginan petani dan investor di sektor pertanian untuk menyerap tenagakerja
terdidik.


2.3. Data dan Metode Analisis
Jenis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data panel atau pooled time series–
crossection. Cross-section dimaksud ialah seluruh (30) kecamatan yang ada di Kabupaten
Bogor. Time series dimaksud yaitu data tahunan untuk periode 1998–2001. Tahun 1998–1999
dikategorikan sebagai periode sebelum diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Tahun
2000–2001 dikategorikan sebagai periode persiapan dan penerapan kebijakan otonomi
daerah, atau disingkat menjadi “periode otonomi daerah”. Sebagian data diperoleh dari
3 Keterangan setiap simbol variabel disajikan pada Lampiran 1.
4 Dalam makalah ini, ulasan difokuskan kepada aspek ketenagakerjaan, sedangkan aspek migrasi tidak diulas.
6
Propeda Kabupaten Bogor (Pemerintah Kabupaten Bogor, 2001) dan sebagian lagi langsung
dikompilasi dari Kantor BPS Kabupaten Bogor.
Model yang digunakan untuk analisis adalah sistem persamaan simultan, sebagaimana
ditunjukkan secara grafis pada Gambar 3, dengan keterangan variabel disajikan pada
Lampiran 1. Dapat dibuktikan bahwa setiap persamaannya bersifat teridentifikasi berlebih
(over identified), sehingga teknik pendugaan parameter yang tepat untuk digunakan ialah
metode Two Stage Least Squares (2 SLS) untuk data panel (Baltagi, 1995). Pendugaan nilainilai
parameter dalam model dilakukan dengan menggunakan program komputer software
Eviews Version 4.1.
Untuk menguji apakah peubah-peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh
nyata atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing persamaan digunakan uji
statistik F. Sedangkan untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara
individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, digunakan uji t.





















BAB II
PEMBAHASAN


3.1. Hasil Estimasi secara Umum
Spesifikasi model yang digunakan dalam makalah ini telah mengalami beberapa
modifikasi, karena pada bentuk awal terdapat ketidakkonsistenan hasil dugaan dengan teori,
serta karena cukup banyak dugaan parameter yang tidak nyata. Model akhir yang digunakan
dalam makalah ini adalah sebagaimana dicerminkan oleh ke-24 dugaan persamaan struktural
pada Tabel 1.5
Hasil pendugaan model memberikan nilai koefisien determinasi (R2) pada masingmasing
persamaan yang cukup besar, yaitu antara 0.51 hingga 0.99 dan sebagian besar di
antaranya adalah 0.8 atau lebih.6 Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas di
dalam model dapat menjelaskan variasi setiap variabel endogen secara relatif baik. Pada
semua persamaan, variabel-variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap variabel endogen, yang ditunjukkan oleh nilai statistik F berkisar antara 14.57
hingga 8.42E+25. Selain itu, variabel endogen di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata
oleh sebagian besar variabel-variabel penjelas secara individu pada taraf nyata (α) 0.05, 0.10,
0.15, dan 0.20.
Tanda dugaan parameter dalam setiap persamaan struktural pada umumnya sesuai dengan
harapan (berdasarkan teori ataupun logika ekonomi). Berdasarkan hal ini dan uraian pada
alinea di atas, dapat disimpulkan bahwa model cukup memadai untuk digunakan menganalisis
pasar tenagakerja di Kabupaten Bogor.

3.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural
3.2.1. Angkatankerja
Hasil pendugaan parameter persamaan angkatan kerja memberikan nilai koefisien
determinasi sebesar 0.68 untuk yang terdidik, dan 0.87 untuk yang tidak terdidik. Hal ini
berarti variasi variabel-variabel penjelas di dalam tiap persamaan tersebut dapat menjelaskan
variasi variabel angkatankerja terdidik dan tidak terdidik masing-masing 68 persen dan 87
persen.
Hasil pendugaan persamaan angkatankerja terdidik menunjukkan bahwa angkatankerja
terdidik secara nyata dipengaruhi oleh jumlah penduduk usia produktif, upah, dan otonomi
daerah.7 Kecuali dummy otonomi daerah, variabel-variabel penjelas tersebut berkorelasi
positif dengan angkatankerja terdidik. Elastisitas jangka pendek dan jangka panjang upah
masing-masing 1.58 dan 2.73 menunjukkan bahwa respons angkatankerja terdidik terhadap
upah relatif tinggi (elastis). Koefisien regresi dummy otonomi daerah yang negatif
menunjukkan bahwa setelah diterapkannya kebijakan otonomi daerah, jumlah angkatankerja
terdidik cenderung menjadi lebih rendah.
Hasil pendugaan persamaan angkatankerja tidak terdidik menunjukkan bahwa
angkatankerja tidak terdidik secara nyata dipengaruhi oleh jumlah migrasi ke dalam dan ke
luar Bogor, jumlah penduduk usia non-produktif, upah, dan otonomi daerah. Kecuali migrasi
ke luar Bogor, variabel-variabel penjelas ini berkorelasi positif dengan angkatankerja tidak
terdidik. Elastisitas jangka pendek dan jangka panjang upah masing-masing 1.568 dan 1.572
menunjukkan bahwa respons angkatankerja tidak terdidik terhadap upah juga relatif tinggi
(elastis), namun tidak setinggi angkatankerja terdidik terutama dalam jangka panjang.
Koefisien regresi dummy otonomi daerah yang positif menunjukkan bahwa setelah
diterapkannya kebijakan otonomi daerah, jumlah angkatan kerja tidak terdidik cenderung.

3.2.2. Kesempatan (Penyerapan) Tenagakerja
Hasil pendugaan parameter persamaan kesempatan kerja didisagregasi berdasarkan
tingkat pendidikan dan sektoral (industri, pertanian, dan jasa). Nilai koefisien determinasi
kesempatan kerja pada masing-masing persamaan berkisar antara 0.74 hingga 0.98. Variabel
endogen pada tiap persamaan kesempatan kerja dipengaruhi secara nyata oleh variabelvariabel
penjelasnya masing-masing.
Pada persamaan kesempatan kerja terdidik di sektor industri, variabel penjelas yang
berpengaruh nyata hanyalah PDRB sektor industri, dan bersifat elastis. Sedangkan pada
persamaan kesempatan kerja tidak terdidik di sektor industri, variabel penjelas yang
berpengaruh nyata adalah investasi di sektor industri, PDRB sektor industri, dan pendapatan
rumahtangga. Hasil-hasil pendugaan ini menunjukkan bahwa di sektor industri, investasi
cenderung berpengaruh lebih nyata dalam menyerap tenaga kerja tidak terdidik dibandingkan
dengan tenagakerja terdidik.
Di sektor pertanian, kecenderungan tersebut juga terjadi. Elastisitas jangka pendek dan
jangka panjang investasi terhadap penyerapan tenagakerja tidak terdidik jauh lebih besar
dibandingkan di penyerapan tenagakerja terdidik. Hal yang sama juga terjadi di sektor jasa.
Akan halnya dummy otonomi daerah, koefisien regresinya—yang bersifat tidak nyata
pada persamaan kesempatan kerja (terdidik maupun tidak) di sektor industri—ternyata
bersifat nyata pada persamaan kesempatan kerja di sektor pertanian (khususnya yang tidak
terdidik) dan di sektor jasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan kebijakan
otonomi daerah condong mendorong penyerapan tenagakerja yang lebih banyak di sektor
pertanian dan jasa. Konsekuensi hal ini adalah produktivitas tenaga kerja di dua sektor ini
cenderung akan lebih kecil setelah diterapkannya otonomi daerah, sebagaimana ditunjukkan
oleh persamaan produktivitas sektoral berikut ini.

3.2.3. Produktivitas Tenagakerja
Hasil pendugaan parameter persamaan produktivitas tenagakerja yang didisagregasi
berdasarkan sektoral mendapatkan nilai koefisien determinasi yang berkisar antara 0.73
hingga 0.94. Variabel endogen pada tiap persamaan kesempatan kerja dipengaruhi secara
nyata oleh variabel-variabel penjelasnya masing-masing.
Pada persamaan produktivitas tenagakerja di sektor industri, variabel penjelas yang
berpengaruh nyata adalah PDRB sektor industri dan dummy otonomi daerah. Sedangkan pada
persamaan produktivitas tenagakerja di sektor pertanian, variabel penjelas yang berpengaruh
nyata ialah upah, PDRB sektor pertanian, dan dummy otonomi daerah. Sama halnya dengan
di sektor pertanian, produktivitas tenagakerja di sektor jasa dipengaruhi secara signifikan oleh
upah, PDRB sektor jasa, dan dummy otonomi daerah.
Hasil pendugaan parameter tersebut di atas menunjukkan bahwa di setiap sektor,
kebijakan otonomi daerah berpengaruh nyata terhadap produktivitas tenagakerja. Akan tetapi
pengaruh tersebut negatif untuk sektor pertanian dan sektor jasa, serta positif untuk sektor
industri. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam hal produktivitas tenagakerja, kebijakan otonomi
daerah biased in favour terhadap sektor industri (against terhadap sektor pertanian dan jasa).
PDRB sektoral berpengaruh nyata terhadap produktivitas di setiap sektoral. Arah
pengaruh tersebut adalah positif dan bersifat elastis. Sedangkan upah hanya berpengaruh
nyata pada persamaan produktivitas tenagakerja sektor pertanian dan sektor jasa. Arah
pengaruh tersebut adalah positif dan bersifat elastis. Baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, nilai elastisitas tersebut lebih besar pada sektor pertanian dibandingkan pada
sektor jasa. Ini menunjukkan relatif responsifnya produktivitas tenagakerja pertanian terhadap
perubahan tingkat upah. Dengan kata lain, peningkatan upah pada sektor ini cenderung akan
mendorong pekerjanya untuk meningkatkan produktivitasnya. Kemungkinan hal ini
disebabkan oleh masih relatif rendahnya tingkat upah di sektor pertanian.

3.2.4. Pengangguran
Hasil pendugaan parameter persamaan pengangguran yang didisagregasi berdasarkan
tingkat pendidikan menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah
0.99 untuk persamaan pengangguran terdidik dan 0.68 untuk persamaan pengangguran tidak
terdidik.
Pada persamaan pengangguran terdidik, variabel penjelas yang berpengaruh nyata ialah
angkatankerja terdidik, jumlah penyerapan tenagakerja terdidik, dan dummy otonomi daerah.
Hal yang mirip juga terjadi pada persamaan pengangguran terdidik, yang secara signifikan
dipengaruhi oleh angkatankerja tidak terdidik, jumlah penyerapan tenagakerja tidak terdidik,
dan dummy otonomi daerah. Jumlah penyerapan tenagakerja di kedua persamaan tersebut
berpengaruh negatif terhadap jumlah pengangguran; sifatnya elastis pada persamaan
pengangguran terdidik dan inelastis pada persamaan pengangguran tidak terdidik. Sifat yang
inelastis ini menunjukkan kelembaman (inertia) jumlah pengangguran tidak terdidik.
Arah pengaruh dummy otonomi daerah terhadap pengangguran terdidik maupun tidak
terdidik adalah positif, menunjukkan bahwa setelah diterapkannya otonomi daerah jumlah
pengangguran cenderung lebih tinggi dibandingkan sebelum otonomi. Nilai koefisien regresi
dummy otonomi pada persamaan pengangguran tidak terdidik lebih besar dibandingkan
dengan persamaan pengangguran terdidik, menunjukkan bahwa tambahan pengangguran
lebih banyak menimpa eks pekerja tidak terdidik.

3.2.5. Upah
Hasil pendugaan parameter persamaan upah riil yang didisagregasi berdasarkan sektoral,
memberikan nilai koefisien determinasi pada masing-masing persamaan berkisar antara 0.53
hingga 0.999. Upah minimum regional (UMR) berpengaruh nyata dengan arah positif
terhadap setiap upah sektoral. Namun semuanya bersifat inelastis, menandakan bahwa
kebijakan Pemerintah menaikkan UMR hanya akan ditransmisikan 9 persen hingga 34 persen
saja (jangka pendek) terhadap upah riil sektoral.
Otonomi daerah hanya berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap tingkat upah
di sektor industri dan sektor pertanian. Tingkat upah di kedua sektor ini hanya dipengaruhi
secara signifikan oleh kedua variabel penjelas ini (dummy otonomi daerah dan UMR). Faktor
lain, termasuk PDRB sektoral, produktivitas sektoral, dan penyerapan tenagakerja sektoral,
hanya berpengaruh nyata terhadap tingkat upah di sektor jasa. Dengan demikian, hubungan
dua-arah antara upah dan produktivitas hanya berlangsung di sektor jasa. Sedangkan di sektor
pertanian dan sektor industri, hubungan yang terjadi hanya searah, yaitu upah mempengaruhi
produktivitas.

3.2.6. Produk Domestik Regional Bruto
Persamaan PDRB didisagregasi secara sektoral. Hasil pendugaan parameter persamaan
pendapatan regional (PDRB) sektoral memberikan nilai koefisien determinasi (R2) yang
berkisar antara 0.76 sampai 0.94. Semua variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap PDRB
sektoral (di setiap persamaan PDRB sektoral). Serapan (penggunaan) tenagakerja sektoral dan
produktivitas tenagakerja sektoral masing-masing berpengaruh positif terhadap PDRB
sektoral. Namun, pengaruh penyerapan serta produktivitas tenaga kerja sektoral terhadap
PDRB sektoral, bersifat inelastis.
Berkebalikan dengan pengaruh otonomi daerah terhadap produktivitas tenagakerja
sektoral, pengaruh otonomi daerah terhadap PDRB sektoral ternyata in favour terhadap sektor
pertanian dan sektor jasa. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Kebijakan otonomi daerah
meningkatkan penyerapan tenagakerja di sektor pertanian dan sektor jasa. Di sektor industri,
penyerapan tersebut menurun, sedangkan yang meningkat adalah produktivitasnya.
Kemungkinan, secara absolut, dampak otonomi daerah terhadap penyerapan tenagakerja lebih
besar dibandingkan terhadap produktivitas. Akibatnya dampak otonomi daerah terhadap
PDRB relatif lebih besar di sektor pertanian dan sektor jasa dibandingkan dengan di sektor
industri.


BAB III
PENUTUP


4.1.Kesimpulan
1. Keragaan pasar tenagakerja pada makalah ini digambarkan dengan lima variabel yaitu
angkatankerja, kesempatan atau penyerapan tenagakerja, produktivitas tenagakerja,
pengang-guran, dan upah (riil). Berkenaan dengan butir 1 tujuan penelitian, dapat
dirumuskan kesimpulan sebagai berikut.
(a) Angkatankerja terdidik dipengaruhi secara signifikan oleh penduduk usia produktif,
upah, dan kebijakan otonomi daerah. Sedangkan angkatankerja tidak terdidik
dipengaruhi secara nyata oleh migrasi dari dan ke Kabupaten Bogor, penduduk usia
non-produktif, upah, dan kebijakan otonomi daerah.
(b) Penyerapan tenagakerja terdidik di sektor industri dipengaruhi secara signifikan oleh
PDRB sektor industri. Di sektor pertanian, penyerapan tenagakerja terdidik
dipengaruhi secara signifikan oleh investasi sektor pertanian dan pengangguran
terdidik. Sedangkan di sektor jasa, penyerapan tenagakerja terdidik dipengaruhi secara
nyata oleh upah, investasi, dan PDRB sektor jasa, pengangguran terdidik dan
kebijakan otonomi daerah. Penyerapan tenagakerja tidak terdidik di sektor industri
dipengaruhi secara nyata oleh investasi dan PDRB sektor industri, serta pendapatan
rumahtangga. Penyerapan tenagakerja tidak terdidik di sektor pertanian dipengaruhi
secara nyata oleh upah, investasi, dan PDRB sektor pertanian, serta kebijakan otonomi
daerah. Sedangkan di sektor jasa, penyerapan tenagakerja tidak terdidik dipengaruhi
secara signifikan oleh upah, investasi dan PDRB sektor jasa, pengangguran tidak
terdidik, pendapatan rumahtangga, serta kebijakan otonomi daerah.
(c) Produktivitas tenagakerja di setiap sektor dipengaruhi secara nyata oleh PDRB
sektoralnya masing-masing serta kebijakan otonomi daerah. Khusus di sektor
pertanian dan jasa, produktivitas tenagakerja juga dipengaruhi secara signifikan oleh
tingkat upah.
(d) Pengangguran (terdidik dan tidak terdidik) dipengaruhi secara nyata oleh
angkatankerja (terdidik dan tidak terdidik), penyerapan tenagakerja (terdidik dan tidak
terdidik), dan kebijakan otonomi daerah. Terdapat kecenderungan bahwa
pengangguran tidak terdidik bersifat inert.
(e) Upah tenagakerja di tiap sektor dipengaruhi oleh UMR. Disektor industri dan
pertanian, upah juga dipengaruhi secara signifikan oleh kebijakan otonomi daerah.
Produktivitas tenagakerja, PDRB, dan penyerapan tenagakerja sektoral hanya
berpengaruh nyata terhadap upah di sektor jasa.
2. Berkenaan dengan butir 2 dari tujuan penelitian, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai
berikut.
(a) Di antara variabel-variabel ketenagakerjaan tersebut, terdapat keterkaitan atau
hubungan (positif) dua arah antara produktivitas dan upah. Namun ini hanya terjadi di
sektor jasa. Di sektor pertanian dan sektor industri, hubungan tersebut bersifat satu
arah, yaitu upah mempengaruhi secara signifikan produktivitas tenagakerja.
(b) Di antara variabel-variabel ketenagakerjaan tersebut, yang berpengaruh nyata terhadap
PDRB sektoral ialah penyerapan tenagakerja dan produktivitas tenagakerja sektoral.
Diperkirakan dampak absolut penyerapan tenaga kerja sektoral terhadap PDRB
sektoral lebih besar dibandingkan dengan dampak produktivitas sektoral terhadap
PDRB sektoral. PDRB sektoral sebaliknya juga secara nyata mempengaruhi berbagai
variabel ketenagakerjaan.

4.2. Implikasi Kebijakan terhadap Sektor Pertanian
Subbab ini merupakan jawaban untuk tujuan ketiga makalah. Indikator yang biasa
digunakan untuk menggambarkan besaran suatu sektor ialah PDRB sektor tersebut. Variabel
ketenagakerjaan yang mempengaruhi PDRB sektor pertanian secara signifikan ialah
produktivitas tenagakerja pertanian dan jumlah penyerapan tenagakerja pertanian. Sebaliknya,
PDRB pertanian juga berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas tenagakerja pertanian.
Adapun penyerapan tenagakerja pertanian (baik yang terdidik maupun tidak terdidik)
dipengaruhi secara signifikan oleh investasi di sektor pertanian. Dengan demikian, bila peran
sektor pertanian dalam perekonomian Kabupaten Bogor hendak dipertahankan atau bahkan
ditingkatkan, maka Pemerintah Kabupaten Bogor perlu memacu investasi ke sektor tersebut.
Ini dapat dilakukan dengan mengurangi hambatan-hambatan birokrasi, memberikan kepastian
hukum antara lain berupa penghormatan terhadap kontrak usaha, serta memberikan insentif
fiskal antara lain berupa pengurangan pajak/pungutan resmi sehingga Kabupaten Bogor lebih
kompetitif sebagai tempat berinvestasi dibandingkan daerah lain.
Dalam kaitannya dengan temuan lebih elastisnya dampak investasi pertanian terhadap
penyerapan tenagakerja tidak terdidik dibandingkan yang terdidik, ada beberapa hal yang
perlu dilakukan Pemerintah. Pendidikan formal kejuruan serta informal/nonformal berupa
kursus-kursus keterampilan teknik budidaya, teknik pengolahan hasil, pemasaran hasil, serta
pengelolaan keuangan perlu diberikan kepada para petani. Dengan semakin terdidiknya
petani, produktivitasnya serta produktivitas keseluruhan sektor pertanian akan meningkat.
Pada gilirannya, pendapatan yang diperoleh petani serta PDRB pertanian juga akan
meningkat.
Tanggungjawab menyelenggarakan pendidikan formal serta keterampilan/penyuluhan ini
seyogianya tidak lagi bergantung kepada Pemerintah Pusat. Dana perimbangan yang
diperoleh, seiring dengan telah diterapkannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal, harus dialokasikan dalam jumlah memadai untuk aktivitas tersebut. Hasil empiris dari
pendugaan model di atas menunjukkan besar/signifikannya potensi kebijakan otonomi daerah
dalam mempengaruhi variabel ketenagakerjaan dan PDRB. Komitmen, kesungguhan, dan
kerjakeras Pemerintah diperlukan untuk melaksanakan hal tersebut. Bilamana
memungkinkan, upaya-upaya melibatkan masyarakat, civil society (termasuk Perguruan
Tinggi seperti IPB), dan swasta diperkirakan akan dapat mendukung upaya peningkatan
sumberdaya manusia pertanian Kabupaten Bogor.












BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Baltagi,B. H. 1995. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons Ltd.,
Chichester.
Botero, J., S. Djankov, R. La Porta, F. López-de-Silanes and A. Shleifer. 2003. “The
Regulation of Labor.” NBER Working Paper, 9756. National Bureau of Economic
Research, Cambridge, USA.
Federman, M and D I. Levine. 2005. “The Effects of Industrialization on Education and
Youth Labor in Indonesia.” Contributions to Macroeconomics, 5(1). Available at:
http://www.bepress.com /bejm/ contributions/ vol5/ iss1/art1.
Galbraith, J. K. dan W. Darity. 1994. Macroeconomics. Houghton Mifflin Company,
Boston.
Greene, William H. 2000. Econometric Analysis . Fourth Edition. Prentice Hall Inc., New
Jersey.
Judge, G.G. et. Al. 1988. Introduction to the Theory and Practice of Econometrics. Second
Edition. Wiley and Sons, New York.
Nicholson, Walter. 1998. Microeconomic Theory: Basic Principle and Extensions. Seventh
Edition. The Dryden Press, New York, USA.
Organisasi Perburuhan Internasional. 1999. Indonesia: Strategi Pemulihan dan Re
Konstruksi dengan Tenaga Kerja sebagai Ujung Tombak (Ikhtisar Eksekutif). ILO,
Jakarta.
Pemerintah Kabupaten Bogor. 2001. Propeda Kabupaten Bogor Tahun 2002–2006.
Pemerintah Kabupaten Bogor, Bogor.
Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Model and Economic Forecast.
Mcgraw-Hill International Edition, Singapore.
Prima, A.R. 1992. “Pengaruh Pendidikan Tenaga Kerja Terhadap Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja di Indonesia”. Skripsi Sarjana. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Riyanto dan Siregar, H. (2005), “Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian Daerah
dan Pemerataan Antarwilayah”, Jurnal Kebijakan Ekonomi, 1(1), 15-35.
Simanjuntak, P.J. 1998. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Edisi Kedua. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Sulistyaningsih, E. 1997. “Dampak Perubahan Struktur Ekonomi Terhadap Struktur
Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia 1980-2019 : Suatu Pendekatan Input-Output.”
Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Todaro, M.P. 2000. Economic Development in the Third World. Seventh Edition. Pearson
Education Limitied, New York.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar